Setelah menulis tentang regenerasi media musik lokal malam tadi, ada satu pikiran yang masih mengganjal sampai saat ini. Bagaimana aku yang saat ini menjalani waktu senggang sebagai self-claimed blogger musik dan menulis beberapa karya dari pelaku lokal sampai nasional. Meski sempat begitu senang mendapat perhatian dan apresiasi dari sosok-sosok yang ditulis, namun ada hal menjadi pikiran tersendiri (bahasa kerennya overthinking) bahkan sempat membuatku istirahat menulis sampai dua bulan: apakah tulisan-tulisan semacam ini masih relevan, dinikmati atau setidaknya dibaca secara utuh?
Jauh sekali jika berkaca jauh pada media luar negeri seperti Pitchfork, Rolling Stone atau ulasan pribadi semacam Anthony Fantano. Belum, masyarakat (atau kita sempitkan lagi, netizen) kita belum sampai pada tahap konsumsi seperti itu. Kalau pun ada jumlahnya tentulah tidak banyak dan didominasi oleh kaum urban ibukota. Terlebih lagi musik yang direkomendasikan ke linimasa (story,ย dsb) media sosial kini sudah difasilitasi tautan sendiri. Tinggal klik dan lagu tersebut bisa dengan mudah dinikmati dan dinilai sendiri. Jangan lupakan pula algoritma canggih yang bisa jadi mak comblang antara pendengar dengan musik-musik seragam yang disukainya. Lantas dengan segala teknologi ini, masihkan ulasan-ulasan musik (yang biasanya panjang) jadi jembatan antara pedengar dengan rilisan-rilisan yang bahkan tidak sesuai dengan algotima mesin?
Kalau ingin komparasi, ada beberapa majalah, portal online Indonesia dan beragam “media” musik lain yang hidup-mati belakangan. Untuk Medan sendiri, aku sendiri sudah mengabsen beberapa nama, diantaranya: Suara Indienesia, Pullstar Media, Peladi Press, Setara Feed, Glukosa, Diorama dan Tengok Besok. Meski beberapa punya konten dengan rubrik khusus yang rasanya orisinil, namun banyak pula yang menaikkan berita rilisan baru hanya dengan copy-pasteย atau parafrase seadanya dari press release yang dikirim. Kemungkinan besar memang tuntutan dapur redaksi yang mengharuskan produksi banyak dalam waktu singkat, entahlah.
Jumlah blogger musik yang secara personal menumpahkan isi kepalanya terhadap sebuah karya secara subjektif bahkan melibatkan emosinya pada karya atau sosok yang diidolakan masih sedikit sekali. Menjadi blogger musik dan menulis tentang musik memang dirasa kurang menguntungkan ketimbang menulis soal teknologi, otomotif, kecantikan atau niche lain yang punya lebih banyak potensi memberikan sponsor sehingga jumlah blogger musik yang menonjol (setidaknya di mesin pencari) bisa dihitung jari. Belum lagi soal “gesekan” denganย skenaย yang bisa berakhir jadi drama. Pusing!
Dari sisi pelaku dan orang-orang yang terlibat, menjadi blogger musik dan menulis soal musik (atau bidang seni lain) bukan suatu hal yang cukup seksi.ย Aku sendiri sering menjumpai orang-orang yang punya banyak gagasan dalam kepalanya namun tidak mempu menuliskannya. Jadilah gagasan-gagasan (yang biasanya jenius) itu berakhir sekedar teman pengiring kopi. Keterlibatan “orang belakang panggung” ini juga belum mencapai potentsi terbaiknya, sering kali dianggap tidak lebih penting ketimbang sang musisi atau pembuat karya yang lain.
Aku sempatย googlingย mengenai hal ini, hasil dari kata kunci “blogger musik” di mesin pencari juga terlihat miris, tutorial memasang blog widget sepertinya jauh lebih seksi ketimbang halaman-halaman yang mengarah kepada sosok blogger dan ulasan-ulasan musik yang apik.ย Salah satu artikel yang cukup bagus menjelaskan kegamanganku tentang hal ini datang dari Aris Setyawan.
“Di tulisan saya sebelumnya, saya berpendapat bahwa ulasan musikโatau jika tulisan itu lebih panjang, mendalam, dan komprehensif bisa disebut sebagaiย kritik musikโitu penting. Kenapa? Karena ia berperan layaknya legislatif yang mengawasi dan menjaga musik sebagai eksekutif agar bekerja dengan sebaik-baiknya.”
Ah, rasanya agak berat kalau harus mengemban titel sebagai kritikus musik. Tapi buatku, ngerecokinย skena musik lokal memang agak menyenangkan. Selebihnya, menulis (baik tandang ke acara atau ulasan) merupakan pelarian dari menulis sebagai mata pencaharian yang karena rutin terasa sedikit membosankan. Beberapa nama yang pernah aku tulis juga rasanya layak mendapatkan publikasi gratis yang tidak seberapa ini karena secara materi mereka punya karya-karya yang bagus namun minim sorotan. Aku sendiri belum sampai pada tahap harus mendengarkan lagu A,B,C,D karena rentetan surel yang bertumpuk. Apalagi mengharapkan pundi dari menulis karya dan acara yang datangnya pun hanya untuk hiburan.ย It’s just for fun.
Kembali pada permasalahan di awal tulisan ini, kebimbangan tadi pada akhirnya di-skakmat secara instan dengan kalimat lanjutan dari artikel tadi.
“Perkara apakah ulasan musik itu kemudian diamini oleh pembaca yang lantas mendengarkan album musik yang diulas, itu urusan belakangan. Ya namanya juga panduan kan? Ia tidak selalu harus dituruti. Yang jelas dengan masih mengulas musik, kita telah melakukan sesuatu yang penting: berbagi ilmu pengetahuan. Iya, musik adalah bentuk ilmu pengetahuan, bukan sekadar sebuah hiburan.”
– Aris Setyawan.
Referensi lain:
Derita Menjadi Penulis Blog Musik Selama Tujuh Tahun
Dicari: Blogger Musik Indonesia
Blog Musik dan Blogger Musik Di Indonesia Kok Sepi ?
Leave a Reply