Di Dalam Rebahan Mafia Pemantik Qolbu

Di Dalam Rebahan – Mafia Pemantik Qolbu: Awal

Menulis ulasan khususnya musik memang bukan hal yang asing. Sempat beberapa waktu terhenti karena konflik dengan sebuah ruang yang kalau diceritakan rasanya cukup absurd. Jujur, saat itu sebenarnya ada sedikit perasaan kesal karena album ini keluar dan kudengar setelah memutuskan untuk tidak lagi beraktivitas di sana. Keinginan untuk mengulas album “Di Dalam Rebahan” dari Mafia Pemantik Qolbu (selanjutnya akan disingkat MPQ)  ini tentu saja jadi motivasi sendiri. “Kalau nanti bisa buat media musik lokal dan ngeriew musik lagi, album gila ini bakal jadi yang pertama,” pikirku pada saat itu. Meski keinginan pertama belum tercapai, setidaknya kerinduan untuk mengulas musik masih bisa diluapkan di blog pribadi. So, here we go!

Setelah beberapa menit memutuskan untuk menulis segmen ini, aku mencari referensi dengan mengetik nama album beserta band di kolom Google. Kebetulan yang mengejutkan, album ini baru saja berulang tahun lewat tiga hari saat aku menulis artikel ini. Selamat!

Langsung saja pada impresi awal dari album ini sudah memberi kejutan dan rasa nikmat lewat “Tanpa Beban” hingga “Last Man”. Ketukan dan komposisi gitar yang terasa akrab, beberapa kejutan efek disana-sini dan lirik yang begitu aduhai. Vokal yang khas juga mulai terasa membius saat memasuki “Rupa-rupa”. Ketiga trek ini seakan membawa telinga kembali pada lagu-lagu rock di akhir 90-an. Deretan ini seakan tidak ingin tidak ingin terburu-buru untuk menyuguhkan bagian terbaik dari album ini. Dengan pembukaan yang penuh kejutan seperti ini, aku percaya kalau masih ada kejutan lain yang menunggu sampai album selesai.

Ketukan yang mulai naik seakan menantang untuk babak selanjutnya lewat “ISO”. Komposisi instrumen yang lebih beragam khususnya lead guitar yang mulai lebih nakal bermain-main untuk lagu yang satu ini. Namun atmosfer tersebut kembali mendingin saat masuk ke “Place to Rest Our Head” yang membuat aku terheran sekaligus kagum. Benar saja kejutan berupa komposisi musik elektronik yang singkat dengan vokal yang mengawang berhasil menimbulkan jeda sejenak di kepala susuai dengan judulnya.

“De la Fleur” memiliki banyak catatan selama aku mendengar kembali album ini. Awal yang sangat santai dengan musik dan vokal yang santai dan lagi-lagi mengawang ala psikedelik seakan mengajak ke alam mimpi. Suasana yang perlahan-lahan naik mulai dari tengah lagu dan berganti komposisi secara tiba-tiba menjelang akhir. Inilah kejutan yang kunantikan tadi.

Masih dilanjutkan oleh trek yang cukup sadis, “Amora: Di Wujud Terbaiknya”. Lagu ini menjadi favorit buatku karena kompisisinya yang kompleks namun terasa sangat nikmat untuk didengar. Kompleksitas ini tidak hanya dari segi musik saja, namun juga diksi di lirik yang sangat dalam. Jangan lupakan badian akordeon (entah synth) di tengah lagu ini yang menjadi daya tarik tersendiri.

Perlahan-lahan turun, “Optimis*”, “Renung” hingga “Fine Line” sampai “Dalam Rebahan” berhasil menutup album ini dengan sangat manis. Begitupun masih ada lagi beberapa kejutan yang berhasil membuatku senyum-senyum sendiri. Ada saat aku merasakan unsur-unsur musik seperti baroque dan gospel yang disambut dengan alunan gitar yang cukup keras di akhir, ada pula alunan piano yang sebenarnya biasa saja namun berhasil menimbulkan perasaan hampa dan ditutup begitu saja meninggalkan perasaan pasrah bahwa album ini, mau tidak mau, habis.

Secara keseluruhan, penyusunan trek di album ini sangat cerdas. Kita dibawa naik lalu diturunkan secara pelan-pelan dan santai, tetapi dengan kejutan dan bising disana-sini. Perasaan seperti ini tidak jarang aku temukan saat berpikir, membayangkan suatu imaji dan berbicara pada diri sendiri saat sedang rebahan. Hal yang tidak boleh dilewatkan adalah lirik-liriknya yang memiliki diksi yang cukup kaya beserta metafora yang luas.

Dengan mengusung art rock, tentu saja band yang beranggotakan 5 orang ini akan sangat erat dengan nama-nama seperti Radiohead, Arcade Fire dan Sigur Rós. Meski ada jejak dari nama-nama tersebut di album ini, namun MPQ berhasil mengemasnya menjadi suatu kebaruan yang magis.

Hal yang patut disayangkan hanyalah “Bubatual” yang tidak ikut disertakan. Setelah mendengar album ini, saya penasaran dengan lagu tersebut dan langsung saja ada perasaan takjub terhadap liriknya (khususnya rapalan di bagian intro) yang membuat merinding.

Album ini sangat direkomendasikan bagi pecinta art rock, khususnya penggemar dari Radiohead. Album “Di Dalam Rebahan” dari Mafia Pemantik Qolbu ini juga nikmat bagi kaum rebahan yang sering overthinking di jam tiga pagi. Jika tertarik dengan band ini, kamu bisa mendengarkan mereka di Spotify dan mengunjungi Instagram mereka.

Mailing List

Bergabung dengan mailing list untuk info artikel terbaru langsung dari email.

Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *