27 Oktober lalu, ada perasaan yang campur aduk (entah kagum, senang atau miris) saat melihat banyak sekali ucapan “Selamat Hari Blogger Nasional”, khususnya dari beragam merk layanan hosting (tentu saja). Namun aku kembali berpikir, hingar bingar tanggal spesial tentang blogger (atau blogging) ini jauh dari kata istimewa bahkan hanya sekadar momentum untuk “ziarah masa lalu” dari masa jayanya. Lantas apa yang sebenarnya kita rayakan?
Blogger
Dari pelakunya saja, istilah ini tentu saja sudah tergilas jauh. Menyandang nama sebagai Blogger kini sudah tidak “seseksi” dahulu. Tentu saja Youtuber, Selebgram atau bahkan Selebtweet saat ini lebih menarik dan tentu saja lebih cepat naik. Begitupun, aku belum pernah mendengar ada hari Youtuber, hari Selebgram dan sebagainya, namun realitanya kehadiran mereka jauh lebih terasa ketimbang Hari Blogger Nasional yang kalau aku rasa lebih tepat sebagai obituari kalau Blogger pernah eksis sebagai suatu entitas digital di negara ini.
“Tapi kan, blog itu kan dari ‘web-log’ dan sekarang juga ada microblogging”
Apologi diatas memang sangat sering dijumpai saat menyoal eksistensi blogger dan beragam tulisan-tulisan di Hari Blogger Nasional lainnya. Ironisnya, keadaan seperti itu yang justru menandakan iklim blogger yang semakin “cengap-cengap”, khususnya bagi full-time blogger. Alih-alih ngeblog di platform-nya sendiri, mau tidak mau blogger secara perlahan “beradaptasi” untuk belajar dan tumbuh dengan platform lain. Sisanya mungkin bertahan dengan menjadi penulis bagi situs-situs perusahaan, tentu saja hal ini jadi pendapatan yang lebih stabil ketimbang bertahan dari satu platform.
Blogging
Hal yang paling aku pikirkan untuk menilik kembali Hari Blogger Nasional kali ini adalah kegiatan blogging yang bisa dibilang sudah sangat jauh ketimbang masa jayanya. Secara budaya dan ditambah tarif internet yang jauh lebih murah kini, tentu saja menikmati konten yang didominasi oleh tulisan tentu sudah kurang menarik. Ada banyak sekali pilihan-pilihan baru yang lebih segar berbentuk audio, visual dan audiovisual. Kegiatan blogging sepertinya kini hanya benar-benar dinikmati bagi sesama para penggemar tulis-menulis. Selebihnya traffic tentu saja dari mesin pencari untuk menjawab berbagai hal. Hal ini pula yang membuat mesin pencari seperti arena bertempur dengan algoritma SEO yang beragam. Pahit-pahitnya, tidak jarang belakangan banyak kata kunci yang sudah ketiban dengan beragam marketplace dan situs-situs besar yang lebih mendominasi.
Hal inilah yang membuat blog dan blogger terpaksa untuk jadi lebih menuruti algoritma mesin pencarian yang terbaru ketimbang menjadi manusia. Mulai dari dari konten yang terlalu memperhatikan niche, tulisan yang ujung-ujungnya bersponsor atau bahkan (mau tidak mau) berubah menjadi portal berita yang hanya sekadar parafrase press release. Jarang sekali menjumpai blog dengan cerita-cerita remeh seperti blog pada masa jayanya dulu. Kini hal-hal seperti itu berpindah, paling dekat ya Twitter yang sama-sama masih mengandalkan teks sebagai konten utama.
Blogwalking
Kalau ini bisa dibilang hampir mati. Media sosial tentu saja akan lebih memanjakan untuk membuat interaksi. Kolom komentar blog pun sepertinya tak secanggih media sosial dalam membentuk ikatan interaksi antar penggunanya. Mau tidak mau, kini sesama blogger yang harus saling mendukung satu sama lain hanya untuk blogwalking. Sebenarnya ada beragam grup yang bisa dijadikan sebagai “serikat tolong-menolong” untuk soal blogwalking ini. Mulai dari komunitas blogging yang masih bertahan, komunitas daerah, hingga beberapa grup yang memang sengaja ditujukan sebagai sarana blogwalking.
Nubuat
Hari Blogger Nasional dan tulisan ini sekali lagi menjadi refleksi diri yang memutuskan untuk kembali nge-blog di tahun lalu. Meski di tulisan ini aku terkesan seperti seorang tua yang “grumpy” atau seperti fans klub sepakbola yang mengenang masa jaya klubnya, namun percayalah ada banyak sekali hal-hal baik dan menakjubkan dari kembalinya aku menulis di blog lagi. Namun tetap saja nostalgia dengan hal-hal yang lampau memang bisa jadi satu hal yang melenakan.
Namun, membahas blog, blogging dan blogger rasanya nasibnya akan sama seperti menulis yang konvensional. Tidak mati dan tidak akan pernah. Penikmatnya tentu akan tetap ada dan tetap akan beregenerasi meski tidak sebanyak produk-produk audio atau visual. Toh hingga saat ini search engine masih dibutuhkan. Bahkan yang paling mengejutkan, lembaga-lembaga edu-tech juga masih banyak yang memfasilitasi kelas-kelas baik blogger maupun SEO. Selama hal-hal tersebut masih ada, aku rasa nama blogger akan tetap ada. Namun perayaannya mungkin memang tidak akan pernah semeriah dulu lagi.
Referensi:
Kompas.com
Leave a Reply