Ketika membahas post-punk, maka tidak jarang nama-nama ini akan disebut beserta karya-karya besarnya: The Cure, The Smiths dan tentu saja Joy Division. Tidak jarang pula nama-nama ikonis dari post-punk ini sendiri menjadi bayang-bayang tersendiri bagi sebagian musisi yang mengusung genre ini, takut dibilang mirip apalagi meniru karya-karya dari nama-nama besar tersebut. Namun hal yang berbeda ketika aku mendengarkan EP pertama dari Kanekuro, Inky. Band post-punk asal Bali ini dengan apik merangkum post-punk, nuansa gothic yang tidak berlebihan serta new wave ala Jepang menjadikan label avant-garde dari sebuah karya bukan hanya isapan jempol semata.
Band yang beranggotakan Andre pada bass dan vokal, Bernard di gitar dan Rio pada drum ini sempat mengklaim terinspirasi pada musik era 80-an dan 90-an, secara ajaib aku menemukan “rasa” lain dari lagu-lagunya yang melemparku jauh hingga ke tahun 60-an dimana di Jepang saat itu masih ramai dengan new wave sebelum city pop populer di tahun 80-an. Konsep gothic nan gelap pun sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Mulai dari nama band ini Kanekuro (kuro dalam bahasa Jepang: Gelap), album bertajuk Inky merujuk tinta hingga produksi fisik oleh Skullism Record. Bah, kurang gelap apa lagi coba?
EP ini dibuka oleh Sneak Pilgrim. Awal yang sangat berkesan sekaligus membuat terkejut, dentuman drum dan petikan gitar yang sungguh magis ini rasa-rasanya akrab sekaligus asing. Ditambah vokal menggema membuat lagu ini terbungkus apik. Berbeda dengan empat lagu lain di EP ini, lagu ini satu-satunya yang ku rasa sedikit keras dan berbeda dengan lagu lain. Terlebih lead guitar yang lagi-lagi mengingatkanku dengan Animetal atau BowWow, keduanya band asal jepang dari 70-an. Kerinduan telinga akan lagu seperti ini menjadikan lagu ini sebagai lagu favoritku di EP ini. Good job Kanekuro!
Masuk ke lagu kedua, Dahlia. Setelah diajak untuk menikmati pertarungan kematian di lagu sebelumnya, kali ini Kanekuro mengajak untuk bersantai sebagaimana orang yang tergeletak lelah, menikmati entah kemenangan atau kekalahan sembari menunggu sore habis. Dengan komposisi musik seapik ini, Kanekuro sendiri bercerita bahwa lagu ini hanyalah lagu cinta pada seorang wanita gothic. Sungguh lagu ini rasanya lebih hebat dari hal seperti itu. Memasuki Pink Turns Black masih dengan vokal mengawang-awang, lagi-lagi Kanekuro membuat kejutan. Post-punk dipadu dengan sentuhan new wave menjadikan lagu ini sangat asik sekali, lagi-lagi patut diapresiasi komposisi gitar dan bass di lagu ini yang menjadikanya tidak basi hingga akhir lagu.
Indigo dibuka dengan dialog entah dari cuplikan film apa. Tidak banyak yang bisa diulas dari lagu yang satu ini, jujur saja lagu yang ini biasa-biasa saja. Seperti post-punk kebanyakan namun dengan karakter vokal yang khas dan konsisten tidak bisa pula dibilang buruk. Sebagai penutup dari EP ini Lazuarku Mati sukses menutup EP ini dengan santai dan tidak berlebihan. Masih dengan karakter vokal khas yang konsisten sejak lagu pertama namun formula yang dipakai semakin mendekati karakter post-punk dari Inggris, tidak jauh-jauh lah dari beberapa nama penggawa post-punk yang sudah aku sebutkan di awal paragraf.
EP Inky dari Kanekuro ini tidak bisa dianggap remeh. Walau hanya berisi lima lagu, EP ini sukses menjadi ladang eksplorasi Kanekuro dengan segala bentuk uji coba akan karya-karyanya. Penyusunan daftar lagu yang berangsur-angsur “mendingin” pun sudah apik. Komposisi dan aransemen dari tiga orang ini benar-benar membuatku campur aduk. Rasa-rasanya aku ingin memuji dengan berkata kasar. Kanekuro, EP kelen ini mantap kali, bangsat! Lanjutkan!
Tulisan ini pernah dimuat di degilzine.com pada 7 Maret 2019 dengan judul “Jalan-jalan ke Jepang Bersama Kanekuro”.
Leave a Reply