Kalau ada musisi yang bermusik dan merekam album dengan tujuan agar tidak terkenal, mungkin sosok bernama Katarsis ini bisa jadi salah satunya. Mulai dari pembuatan, distribusi sampai publikasi yang dikerjakan terasa “kentang” dan sedikit malas berujung pasrah. Persis seperti saat mengucap “Ah, yaudahlah” setelah melihat jam dan menyadari diri yang sudah terlambat, entah ke kantor atau kampus. Mungkin ini pula alasan kenapa album ini dinamai sebagai “Proyek Bangun Tidur”. Setelah niat membuat album ini dikumpulkan dengan susah payah, Katarsis memilih untuk tidur atau bersantai dengan membakar rokok dalam proses distribusi dan publikasi. Khas anak kosan yang menikmati hidup dengan cara bolos kelas pagi.
Namun tentu saja ada hal luar biasa di album ini yang membuat aku rela menghabiskan waktu menulis ulasan ini. Materi-materi di album ini cenderung tengil, relatable dan sedikit gila. Jika musik folk-accoustic dengan lirik sindir-sindir satir identik dengan nama Iwan Fals atau Jason Ranti, ada sesuatu yang berbeda dengan Katarsis. Materi di album ini lebih erat hubungannya dengan cerita-cerita perantau muda yang kuliah ke kota. Jangan lupakan pula makian khas prokem Sumatra ataupun cuplikan meme yang berceceran di sana-sini.
Sesaat Sampai di Tangan
Untuk mendapatkan album ini bisa dibilang susah-susah gampang, untuk mendengarnya beda cerita lagi. Seperti musisi independen lainnya, kontak saja si empunya karya ke akun media sosialnya Katarsis (tapi percayalah, cara ini akan membuatmu menyesal) atau datang kalau ada panggungan blio (umumnya acara kolektif di Kota Medan) dan mendatanginya seperti sebuah transaksi barang halal pada umumnya.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, untuk mendengarkannya jadi urusan yang lain lagi. Setelah album “Proyek Bangun Tidur” ini sampai di tangan, sepulang dari acara tersebut tentu saja rasa penasaran akan album ini langsung menggebu. Ada banyak sekali gimmick di sana, mulai dari “surat wasiat” seorang Katarsis, lembar penjelasan tentang “Proyek Bangun Tidur” dan tentu saja sticker-pack yang isinya beragam. Dari perasaan yang membuncah itu, semuanya padam di satu titik: “bagaimana caraku mendengar album ini?”.
Bak Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun, Katarsis sepertinya lupa kalau media kaset yang dipilih (dan aksesoris lainnya) mungkin terkesan sangat unik saat ini. Namun kebanyakan orang membeli media kaset saat ini tentu hanya sebagai cendera mata, sedikit sekali yang mendengarkannya langsung melalui radio-tape atau walkman. Tidak ada pula panduan bagaimana mencari materi-materi yang ada di album ini untuk di dengar. Saat ini berbagi karya (khususnya album) lewat media digital cenderung lebih efisien tidak hanya untuk didengarkan namun juga untuk dibagikan ke sesama pendengar musik. Syukurnya masih ada beberapa karya yang dirilis secara acak di media sebagai single yang ada di Soundcloud dan Youtube.
Solusi terbaik ditemukan setelah keesokan harinya secara tidak sengaja bertemu dan komplain dengan si empunya album. Ternyata pada setiap pembelian rencana awalnya akan ada tautan menuju Google Drive yang akan disertakan di setiap album. Namun begitulah album yang sesuai namanya “Proyek Bangun Tidur”, hasilnya seperti habis bangun tidur pula. Jika berminat dan sudah memiliki album ini, jangan lupa untuk mengontak kembali Katarsis untuk mendapatkan tautan menuju Google Drive album ini.
Retorika dan Memetika Skena ala Katarsis
Mengasampingkan soal distribusi dan publikasi, secara materi album ini sangatlah luar biasa. Meski lagu-lagu dalam album ini tidak begitu memainkan banyak kunci (dan bangsatnya Katarsis menuliskan ini juga di “Lagu Gak Sopan”), namun porsi musik dirasa sangat cukup untuk melantangkan lirik-lirik yang nakal nan melece dan cukup untuk membuat perasaan pendengarnya antara berdecak kagum hingga merasa tersindir di beberapa lagu.
Penggalan lirik-lirik dengan diksi sederhana bercampur prokem khas Sumatra menjadikan lagu-lagu di album ini terasa menyenangkan. Ditambah lagi beberapa cuplikan baik dari meme dan media yang menjadi selingan ringan sebelum masuk ke topik yang penuh sindiran dan membuat kuping panas.
Bagian favoritku ada di “Lagu Gak Sopan” yang musiknya pun mendukung untuk mengejek mulai dari orang-orang, sejawat, skena sampai diri sendiri. “Sebagian Yang Mati Dengan Tenang” justru menjadi bagian yang nyaris membuat album ini “patah”. Setelah disuguhkan lirik-lirik yang begitu bandel ada pula track yang wholesome dan membuat refleksi bagi para pendengarnya, meski aku tahu Katarsis sedang curhat pula. Namun hal ini dirasa sangat wajar dan tidak mengganggu karena jadi akhir dari Side A.
Untuk Side B, dimulai (dan sialnya didominasi) oleh lagu-lagu cinta yang tidak terdengar seperti lagu cinta, namun sangat jujur. Untuk selanjutnya tentu saja kembali aksi ejek dan sindir kembali lagi dengan “Problematika Kompleks” yang berhasil menaikkan nama Katarsis di lingkup skena Kota Medan. Album ini ditutup santai dengan “Pulanglah Nak” yang bisa jadi berhasil memutar balik mood untuk bersikap jogal setelah mendengar album ini dari awal. Ah, sebengal apapun lirik-lirik dalam album ini, ternyata Katarsis pun juga lemah kala bercerita tentang orang tua. Dasar perantau!
Simpulan
Secara keseluruhan, album ini dapat dikatakan sebagai hidden gem di tahun ini. Meski penggemar folk semakin berkurang dan terkesan mati, Katarsis berhasil unjuk gigi dan mengembalikan substansi bersuara lewat musik. Jangan berharap banyak pada kualitas rekaman album ini. Beberapa kualitas terasa tidak stabil dan sangat sederhana namun tentu saja hal ini tidak jadi masalah dan mungkin malah akan jadi lebih baik jika diputar melalui radio-tape atau walkman, sebagaimana seharusnya.
Mendengarkan album ini seperti berada di sebuah meja di kedai kopi yang isinya meski berat namun dibawa dengan bahasa tongkrongan lengkap dengan umpatan yang meletus di sana-sini. Topik beragam yang luas namun lekat dalan keseharian semakin membuat album ini terasa seperti berbicara sepanjang malam dengan teman-teman dekat; gibah, masalah perut, makna hidup dan tentu saja urusan hati dan kekasih yang rasa-rasanya selalu ada di setiap pembicaraan. Tanpa perlu menggunakan diksi ndakik-ndakik dan melulu soal politik dan kuasa yang jauh (meski ada juga sedikit porsinya di album ini), namun kritik bisa dimulai dari skena (yang luput dari kebanyakan orang di dalamnya), circle pertemanan dan hidup sendiri.
Leave a Reply