Beberapa hari lalu, Instagram Stories dari beberapa teman yang berkecimpung di ranah skena musik Kota Medan mengunggah ulang (repost) sebuah gambar yang cukup menarik. Foto hitam putih bergambar-entah-apa serta tulisan-tulisan di atasnya yang justru lebih menarik, “Arsip Sinar Pagi”, diikuti dengan rangkaian nama-nama setelahnya. Beberapa nama band “punah”, beberapa yang sedang hiatus (kalau tidak mau dibilang melempem) dan tentu saja rising star di beberapa tahun terakhir. Hal yang terlintas di awal adalah “Mendadak kali bah! Orang gilak mana yang bikin ini?”
Nama yang dipilih pun sejujurnya cukup klise sekaligus catchy. Mengingat orang di luar Medan yang sudah tidak asing lagi dengan Soto Sinar Pagi. Soto Sinar Pagi adalah… Tolonglah, Googling! Jangan paksakan pula untuk menuliskan analogi album ini bagai soto yang hadeeehhh…
Rilis pada 18 Desember 2020, “Arsip Sinar Pagi” berisi 10 rilisan dari masing-masing band yang diarsipkan ini menurutku terbilang cukup namun tidak benar-benar merangkum secara keseluruhan pergerakan musik di Medan sendiri. Beberapa nama bahkan genre ada yang tidak ikut. Justru becara pribadi, tulisan Ivan Makshara tentang skena musik Medan malah bisa merangkum dengan lebih baik. Bisa jadi keterbatasan ini disebabkan oleh kapasitas medium kaset, waktu atau referensi yang menjadi pembatas sang empunya hajatan dalam pengarsipan ini. Entahlah.
Rilisan dari masing-masing band, yaitu: MTAW, Suarasama, Beetleflux, No One Cares, Moongazing & Her, The Cangis, Kognes Park, Hello Benji and The Cobra, Pullo dan Korine Conception. Beberapa track dalam “Arsip Sinar Pagi” ini bahkan membuatku sedikit bernostalgia kembali ke tahun-tahun di mana beberapa nama di arsip ini sempat bersinar.
Medan Juga Bisa!
Ya, sub-judul di atas memang menggelikan seperti sebuah jargon pemilihan “ketua” di Medan ini. Tidak ada kalimat lain yang muncul saat aku mendengarkan album ini secara gratis di sesi dengar Room 404 Radio. Selain untuk kebutuhan nostalgia, “Arsip Sinar Pagi” sangat terlihat untuk unjuk gigi dan siap berlaga dengan skena musik di luar Medan khususnya Jawa yang saat ini menjadi kiblat pendengar musik di Indonesia.
Dibuka oleh MTAW dan alunan gitar yang asik, “Silly (Exotic)” dari 2009 tentu saja jelas sekali bagaimana post-punk sudah ada dan dinikmati pula di Medan. Berlanjut ke Suarasama dengan “Trans Notes (To The Wars)” dari tahun 2002. Sudahlah, perpaduan musik tradisi dan modern serta “rapalan” lirik yang cepat tentu saja bisa membuat pendengarnya kagum seketika.
Masuk ke skena pop sekitaran 2016, Beetleflux tentu saja jadi nama yang sangat akrab tidak hanya di kalangan skena, namun juga pendengar umum yang sering menyaksikan panggung-panggung baik pensi maupun gigs lokal. Lagu berjudul “Delphine”(2016) ini pun secara pribadi membawa nostalgia dengan beragam pensi di kampus dan romantika masa muda.
No One Cares dan “Infinite Curse”(2016) tentu saja mewakili skena “keras” di Medan ini. Nama ini sebenarnya cukup akrab karena memang pada zaman ReverbNation, band ini beberapa kali aku dengar dan menjadi rekomendasi teman-teman yang ikut di “skena keras”. Sayang saya track yang diboyong bukanlah lagu-lagu dari tahun 2011 yang terdengar lebih gahar dan “OG”.
Moongazing & Her dengan “Wallflower” (2020) menjadi rising star tahun ini. Bagaimana tidak? Setelah tahun lalu mengeluarkan EP yang mantap di tahun lalu, tahun ini rilisan tunggalnya sangat nikmat. Bahkan salah seorang teman (personil band juga pokoknya) sempat kesal telat datang ke gigs dan berujar “Yah, sulit mencari gigs Moongazing”. Rilisan tunggal ini pun aku masukkan pula sebagai rilisan Medan yang mantap di 2020 ini.
The Cangis dengan “First Symphony” (2014) kembali menjadi perwakilan musik keras yang memang pada masa itu sedang subur-suburnya di Medan. Tentu saja mendengar The Cangis kali ini entah kenapa aku teringat dengan “Rhybuck Party”. Lanjut dengan Kognes park dengan 18/25 (2020) yang baru saja muncul juni lalu dan memainkan synthwave. Meski begitu, materi dari lagu-lagu mereka sudah mantap dan rapi. Tidak heran kalau unit yang benar-benar segar ini bisa masuk ke dalam “radar” dan muncul di “Arsip Sinar Pagi”.
Hello Benji and The Cobra tentu menjadi nama yang sangat akrab di skena musik Medan. Band ini sempat merajai bermacam panggung mulai dari pensi sekolah, acara kampus (khususnya agrifest tiap tahun) hingga SoundSations Medan 2018. Single “Anak Muda” (2017) pun menjadi salah satu materi yang belakangan sering dibawakan di beragam penampilan mereka. Benar-benar sangat pas menggambarkan keadaan skena musik Medan dalam rentang 2015-2019 ke dalam “Arsip Sinar Pagi”.
Pullo dengan “Tenebrous” (2020) yang keluar di tahun ini bersama dengan “Ride” juga menjadi salah satu rilisan favorit buatku tahun ini pun masuk sebagai rilisan Medan yang mantap di tahun 2020. Sayang, untuk membuat Pullo sebagai representasi musik Medan dalam arsip, rasa-rasanya masih banyak materi dari Pullo yang yang tidak kalah mantap dan memiliki kedekatan yang lebih dengan para penggemarnya untuk diletakkan ke dalam “Arsip Sinar Pagi”.
Korine Conception menjadi penutup paling magis di “Arsip Sinar Pagi” kali ini. Setelah tidak mendengarnya begitu lama, unit shoegaze yang materi-materinya membuatku merasa band ini seharusnya tidak di Medan, tentu saja dalam artian bahwa band ini punya materi-materi yang kelewat bagus namun minim penikmat. “Lost Imaginary” (2008) menjadi penutup yang membuat arsip ini benar-benar terasa arsip dan memaafkan segaa perasaan kurang enak di album ini yang kudapati sebelumnya.
Simpulan
Paling awal, “Arsip Sinar Pagi” secara jelas pantas mendapatkan apresiasi dengan arsip yang dahsyat. Pemilihan rilisan yang cukup garang kemungkinan akan membuat orang di luar Medan yang mendengar arsip ini berdecak “Loh, di Medan ada band kaya gini juga?” atau semacam “Wah, Medan keren ni brou… Baru tau gue!”. Begitupun, bagi orang yang benar-benar mendengarkan atau bahkan terlibat dalam skena musik Medan akan merasa kekurangan dengan beberapa genre, band bahkan musisi solo/grup yang hilang. Tentu saja ada harapan besar adanya arsip kedua yang akan datang untuk kurasi dari genre dan musisi lain.
Secara konten, hal yang patut diperhatikan dalam “Arsip Sinar Pagi” adalah penyusunannya sebagai arsip. Ada dua penyusunan yang aku sarankan dalam membuat setlist atau mixtape: berdasarkan “mood” (naik atau turun) atau berdasarkan tahun kalau benar-benar ingin dikurasi berdasarkan tahun. Jika mendengarkan secara runut dari awal hingga akhir, ada sedikit kacau yang timpang. Semisal dari musik yang agak keras, diselingi indie-pop yang mengawang untuk selanjutnya diremukkan dengan musik keras yang lain. Jujur, penyusunan “arsip” kali ini lebih kepada “siapa kawan yang lagi di ingat aja”.
“Arsip Sinar Pagi” dapat dinikmati bahkan dikoleksi dengan berbagai cara. Tentu saja rilisan fisik berbentuk kaset pita yang membuatnya otentik dan paket khusus dengan kaset ditambah baju kaos. Selain bentuk fisik, tentu saja platform digital yang lebih mudah didengar (disertai booklet digital) melalui The Store Front dan Bandcamp. Psssttt… Beli dari TSF lebih murah dari bandcamp!
Leave a Reply