Media dan Skena: Perkenalan
Sore yang biasa saja sekitar tahun 2017, sehimpun kertas yang tergeletak ngaggur di atas meja sebuah kafe itu menarik perhatianku. Waktu luang yang teramat banyak tahun itu aku memang membuatku lebih sering nangkring di kedai kopi bahkan “keliling” mencoba banyak kedai kopi yang tetiba menjamur. Aku ingat betul di mana aku menemukan zine itu, sebuah kedai bernama Syifa Coffee di Jalan Sudirman. Tentu saja, pada saat itu aku sendiri belum kenal apa itu zine (saat di pers mahasiswa ketemunya cuma magazine alias majalah biasa dan tabloid, thok), apalagi yang namanya skena.
Tentu saja hal yang paling menarik dari majalah ini adalah gambar kucing di depannya. Tulisan DEGILZINE terpampang besar-besar. Kebiasaanku saat membaca media cetak, tentu saja mencari gambar-gambar bagus (tentu saja komik yang paling belakang malah kedapatan dibaca duluan) sekalian skimming judul-judul yang sekiranya menarik dibaca. Tapi baru halaman ketiga saja, aku memutuskan stop dan berhenti. Ada tulisan tentang Selat Malaka di situ. Sebagai band yang namanya sedang naik waktu itu, tentu saja rasa penasaran menarikku untuk membaca tentang mereka. Lalu sekejap melihat gambar bintang dan tomat saling adu jotos kemudian beranjak ke album review. Semuanya rampung setelah membaca rubrik mixtape yang punya banyak nama-nama asing.
“Gila, di Medan ada yang mau buat ginian?”. Cuma itu yang bisa ku simpulkan setelah rampung membaca beberapa lembar kertas itu. Aku bukan orang yang asing pada media musik, sebut saja Majalah HAI dan juga Rolling Stone (Indonesia dan internasional) yang dulu sering jadi bahan bacaan waktu senggang. Langsung saja kau “intip-intip” akun media sosialnya. Ah, ternyata mereka juga punya media online (degilzine.com, pada waktu itu). Tunggu, ada satu nama yang aku kenal di situ. Langsung saja aku DM via instagram, ingin numpang “corat-coret” di sana. Beliau bilang langsung kirim lewat info yang bisa dilihat di bio. Tentu saja aku yang malu-malu urung nulis bahkan datang ke tempatnya (padahal dekat kampus) sampai 2018 kembali “basa-basi”. Sampai akhirnya datang untuk malam puisi bernama “Hujan Kata-Kata”(entah yang ke berapa), itupun diajak salah satu kawan bernama Agung.
Singkat cerita, dengan perlahan dan malu-malu mulailah proses menulisku di sana. Tulisan pertama tentang Feel Koplo yang pada waktu itu sedang ramai di jagat internet. Hal yang menyenangkan pada saat itu adalah tulisanku yang diapresiasi secara langsung. Sungguh melenakan kalau diingat-ingat lagi. Berlanjut hingga tulisan-tulisan berikutnya lahir dan terus-menerus mendapat pujian. Sungguh bagaimana proses menulis jadi hal yang menyenangkan di tahun-tahun itu, pun hal-hal lain seperti pertemuan-pertemuan ajaib lainnya (baik dari menulis dan juga skena) yang punya cerita tersendiri sampai hari ini. Namun, pada akhirnya keinginan untuk menulis kendor juga. Tidak hanya sekadar writer’s block, namun disertai sebab-sebab lain yang rasanya tidak usahlah di tulis di sini. Sebagaimana pertemuan terjadi secara ajaib, keputusan untuk menyudahi kegiatan menulis di sana juga terjadi secara tiba-tiba pula. Kabar paling akhir, media online (yang juga menampung beberapa tulisan bagus orang lain) hilang begitu saja. Untunglah beberapa tulisan pribadi sudah di-backup jauh-jauh hari.
Publikasi untuk Musisi Pelaku Seni
Meski aku masih baru sekali di skena pada waktu itu, namun buatku rasa-rasanya ada hal yang sangat mengganjal. Rasanya tidak heran bagaimana para pelaku seni khususnya musisi indie (independen) lokal tidak begitu gaung namanya selain di kalangan penikmat radio lokal, partisipan event (penyelenggara, sponsor, dsb) serta kolega sendiri. Selain radio lokal, tidak banyak sarana promosi lain yang menyorot nama-nama baru ini. Beberapa kali terlihat media cetak lokal dan tentu saja media sosial pribadi. Hal ini sangat berbeda dengan Pulau Jawa (khususnya Jakarta) yang sering menemukan hidden gems untuk dipublikasikan. Untuk media dengan niche khusus bagi pelaku seni khususnya musisi lokal sepertinya belum ada saat itu. Keberadaan Degilzine pada saat itu tentu saja jadi alternatif tersendiri bagi musisi lokal yang ingin melambungkan namanya.
Begitupun, saat Degilzine masih dalam kondisi terbaiknya, tidak banyak musisi lokal yang secara sadar mengirim press release ke media seperti ini. Entahlah, mungkin dirasa instagram story dari kawan-ke kawan mungkin lebih terasa pada saat itu. Hal ini pula yang menyebabkan asng penulis harus “jemput bola” untuk menulis entah rilisan atau profil dari musisi lokal yang karyanya sedang naik pada saat itu. Aku sendiri pun ingat bagaimana saat-saat terakhir menulis untuk Degilzine malah menulisi beragam musisi yang berasal dari luar Medan.
Sedikit nama yang sadar dengan keberadaan media dan pengiriman press release ini justru mendapat tempat sendiri di media-media nasional meski sedikit, namun rasanya itu jauh lebih baik. Maka tidak heran nama-nama yang tercatat setelahnya bisa saja jadi catatan sejarah jejak digital selanjutnya. Tidak percaya? Cari saja “skena Medan” melalui Google dan tulisan dari Ivan Makshara masih bertengger hingga sekarang.
“Babilonian”: Kemunculan Baru — Nubuat
Penggambaran Migdal Bavel atau Menara Babel pada judul tentu bukan sekadar clickbait atau keren-kerenan. Rasa-rasanya setelah Degilzine layu disusul padamnya degilzine.com, muncul banyak nama-nama baru yang mungkin saja punya visi yang sama dengan Degilzine dulu. Sebut saja Setara Feed, Diorama Channel, Media Metafora, Tengok Besok, Pullstar Media dan tentu saja blog ini. Entah kemunculan mereka memang ada setelah Degilzine “bakar diri” atau baru saja terlihat setelah nama Degilzine yang cukup besar dulunya luput. Tentu saja ini merupakan hal yang bagus, semakin banyak media dengan circle skena yang berbeda-beda tentu saja potensi untuk memunculkan nama-nama dan karya-karya ajaib lainnya semakin besar.
Namun metode “jemput bola” tadi rasa-rasanya akan tetap valid hingga beberapa tahun ke depan. Tidak banyak pelaku seni di kota ini yang sadar dengan publikasi di media. Semoga saja dengan banyaknya media dengan niche seperti ini bisa mengangkat banyak nama-nama baru dan menemukan hidden gems-nya sendiri, pun timbul kesadaran dari musisi untuk setidaknya bisa menulis press release-nya sendiri (atau oper saja ke orang yang memang paham menuliskannya). Tidak hanya dalam bidang musik, namun potensi bidang seni lain di kota Medan rasa-rasanya memang perlu dapat perhatian lebih melalui media.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam media dengan niche musik dan seniman lokal ini adalah konsistensi. Beberapa nama media lokal lain juga ada yang hilang bahkan ada yang urung muncul karena inkonsistensi para pengerak dalam menelurkan karya-karyanya menjadi sebuah media. Patut diakui, orang-orang yang berada pada irisan antara media dan skena di kota ini masih sangat sedikit sekali. Beberapa yang potensial migrasi ke luar kota dan beberapa lagi sibuk dengan hal lain yang lebih penting. Semoga nama-nama “pecahan baru” yang disebutkan tadi bisa bertumbuh dengan baik dan konsisten.
Dengan begitu ramainya konten-konten visual di lini masa, mungkin hal tulis-menulis semacam ini akan tetap menjadi hal yang dianggap remeh dan cuma layak jika hanya sebatas hobi.
Leave a Reply