Sehari setelah acara pembukaan Solidaritas Pameran Anak Muda (SPAM), aku melihat flyer acara di Insta-story. Semacam malam puisi. Dugaanku, sepertinya memang baru disebarkan satu-dua hari sebelum acara. Berhubung memang sudah lama tidak menonton acara semacam ini, segera saja aku ke sana malam itu.
Konsep yang cukup segar menurutku saat pertama kali melihat tempat yang dipilih untuk pagelaran acara semacam ini. Rasanya jarang sekali acara semacam malam puisi memilih kedai kopi yang biasanya banyak anak muda dan tempatnya strategis pula. Harapan itu sirna begitu saja saat melihat tempat yang dijadikan sebagai panggung ada di dalam ruangan yang biasanya dijadikan sebagai clothing store. Rasanya agak sempit, ruangan itu hampir penuh saat seluruh penampil ditambah panitia masuk ke dalam ruangan. Karena memang niatku yang rindu melihat malam puisi seperti ini, mau tidak mau aku terpaksa nyempil diantara peserta dan panitia yang berdesakan di area penonton.
Seperti acara seni pada umumnya di Kota Medan ini, masalah ngaret memang sudah hal biasa. Mari kita maklumi saja dan lewati soalan itu. Dimulai dari jam 8 lewat sekian menit, acara dibuka oleh salah seorang panitia. Masih muda dan good looking, tentu saja. Ada perasaan yang sebenarnya agak lucu dan membuat geli, acara malam puisi yang sebenarnya dibawakan secara santai dimulai dengan pidato panjang ala presentasi anak kuliahan. Tahu kok kalau di setiap acara ada brand moment. Tapi sebagai informasi nih, cara membawakan acara bisa lho dipelajari (atau mungkin ditiru). Materinya yang dibicarakan tidak jauh dari soalan karya seniman di Kota Medan, regenerasi dari anak muda, menaikkan taraf seniman, ya pokoknya cakap-cakap intelek tentang seni begitulah. Sayang, impresi dari rantaian kata yang terdengar sangat pintar itu sirna begitu saja karena sang pembuka acara tadi berpidato sambil mengunyah permen karet. Entah, mungkin seperti itu seharusnya etika apresiasi terhadap penonton (yang sekaligus didominasi oleh para penampil alias seniman). Ah, tahu apalah aku.
Setelah pembukaan yang sangat apresiatif tersebut, penampilan-penampilan selanjutnya terasa sangat mengobati perasaan. Penampilan-penampilan yang sangat bagus bahkan membius silih berganti. Mulai dari pembawaan lagu oleh Sarah (Sate) dan Dirza, lengkap dengan visualisasi yang sangat filosofis berlanjut ke puisi oleh Molly dan nyanyian dari Dara. Ada kejadian lucu lagi sebelum berlanjut ke penampil selanjutnya. Panitia ditegur oleh penampil berikutnya, Agung, atas kesalahan definisi dari seloka. Sepertinya kurang briefing.
Acara dilanjutkan oleh puisi oleh Agung dan ditutup oleh tarian bali dari Shafira dan Yoga. Syukurnya tarian tadi dilangsungkan di luar ruangan kecil tadi dan berpindah ke luar, tempat yang syukurnya cukup lapang. Sayang saja rasanya kenapa tidak semua penampilan bisa di sana yang seharusnya bisa memuat lebih banyak penonton dan menjadi sebuah konsep penampilan yang lebih “segar”. Mungkin hanya aku yang cukup aneh berpikir begitu. Ah, tahu apalah aku.
Setelah acara usai, berlanjutlah sesi foto-foto sesama penampil dan panitia. Begitulah semestinya. Namun dari begitu banyak mata kamera di sepanjang acara, tidak kutemui jejak dokumentasi di media sosial tentang acara ini. Hanya beberapa dari penonton dan penampil. Instagram berawaldarimula sebagai “kepala” dari beberapa acara (oh! Ternyata sebelumnya juga pernah ada acara!) terlihat mendokumentasikan sebatas Instagram Stories. Mungkin dengan tidak mempublikasikan pagelaran sendiri seperti itu merupakan cara untuk menaikkan taraf seniman di Kota Medan ini. Ah, tahu apalah aku.
Leave a Reply