Sometimes, I still searching about her. Yes, I miss her and still in love with her.
When she’s not. I guess.
Sebuah akhir yang menjadi mula. Sebuah pesan masuk, lagi dan lagi dari nomor yang pada saat itu sengaja aku hapus. Aku mendiamkannya begitu saja. Entahlah, waktu itu perasaan begitu kalut. Aku tahu bahwa memutuskan untuk bertahan pada ekspektasi bahwa seseorang akan berubah merupakan tindakan konyol. Memutuskan untuk “berteman” (lebih tepat kalau disebut penggemar) pada saat itu juga bisa menjadi bom waktu buatku.
Aku tahu betapa dia begitu kesal saat itu. Seperti dia kesal tentang bagaimana aku menyuruhnya Googling dan saat aku mendiamkannya pertama kali. Setelahnya usaha untuk melupakan satu sama lain dilakukan masing-masing. Tentu saja aku yang bertindak layaknya pecundang pada saat itu hanya bisa mengutuk keadaan dan ketidakmampuan diri sendiri pada saat itu. Pelampiasan lain tidak menghasilkan apapun, beberapa malah memperparah. Aku terlanjur tenggelam pada harapan bahwa dia adalah panasea dari haru-biru harian yang berujung pada tulisan-tulisan non-kontekstual di linimasa.
Entah angin apa, aku mengetik nama akunnya di kolom pencarian (yap, aku masih mengingatnya betul). Mendapati dia kini jadi lebih bahagia dengan hidup dan orang yang lebih memahaminya rasanya sedikit campur aduk. Aku tahu orang itu, dan aku bisa menuliskan beragam kecemburuan konyol di sini tapi tidak usahlah. Bittersweet. Kata itu mungkin merangkum segalanya. Tidak menampik bahwa orang yang bersamanya sekarang dulu juga selalu ada, membayang. Orang ini bisa jadi lebih berjuang, bersabar dan memperlakukan dia dengan lebih baik membuatku maklum. She deserve better and she got it.
Pada akhirnya, aku menyudahi rasa penasaran ini dengan mengingat satu kata yang sering dilontarkannya:
“Cinta itu ya nerima,”
Sekarang aku mengerti dan aku merelakan.
Leave a Reply