Agustus berakhir begitu saja. Satu draft tentang bagaimana perayaan tahun ini sepatutnya disesali, kadung terbengkalai dan urung selesai (berakhir dibuang, tentu saja). Rasa-rasanya, tulisan depresi bagaikan hasil mabuk air rebusan tesaurus seperti itu sudah bukan masanya lagi. Begitupun umur dimana pesohor memutuskan mati ini mungkin membutuhkan catatan khusus, menurutku. Toh, tidak banyak pula ucapan apalagi perayaan yang terjadi kemarin. Tapi satu hal yang benar-benar merangkum perayaan tahun ini: sunyi yang nyaring.
Sudah sewajarnya, umur kisaran seperempat abad ini sudah dihabiskan untuk hal-hal menakjubkan sebagai memori masa muda, sementara sebagian yang lain (termasuk aku) mungkin kurang beruntung mewujudkannya. Memang tidak bisa dibilang sebagai kesialan, namun ada begitu banyak kesempatan yang sia-sia dan berakhir menjadi sesal sampai sekarang.
Terlahir sebagai anomali dalam garis darah tidak mudah memang. Beberapa cita-cita yang dianggap “tidak masuk akal” oleh orang lain terpaksa dibuang jauh-jauh sementara hal-hal yang dianggap akan membawa “sukses” sudah kadung dijalani dengan rasa terpaksa sehari-hari. Entahlah “sukses” yang dijanjikan itu sudah muncul atau tidak. Di akhir masa seperti ini, sisa-sisa dari hal konyol tersebut syukurnya masih bisa dijalani seadanya untuk menyambung hidup. Andai mimpi-mimpi konyol ini bisa diperjuangkan sejak awal.
Dari segi hubungan antar manusia, baik itu hubungan platonik atau romansa bisa dibilang dua-duanya sama-sama buruk. Ada banyak sekali catatan untuk hal ini sebenarnya. Namun merapal di tulisan ini pun rasanya tidak berguna, sudah berlalu. Syukurnya tahun-tahun belakangan ini menjalin relasi baru atau memperbaiki kembali beberapa yang bisa diperbaiki tidak ada salahnya, walau beberapa bisa dibilang gagal.
Sesal sering datang sebagai hantu-hantu visual. Tentu saja bagaimana media sosial menjadi tempat pelarian paling asing sekaligus ingin lari darinya dengan segala riuh yang bergema. Melihat orang-orang dengan segala bentuk perayaan yang hadir di sekeliling mereka tentu saja sedikit banyak menimbulkan rasa iri karena tentu saja tidak begitu beruntung untuk mendapatkan beragam afeksi seperti yang terlihat itu. Dianggap sebagai manusia oleh manusia yang lain, saat ini rasa-rasanya sedikit menggelikan -atau bahkan aneh- buatku.
Rasanya menyedihkan memang, menghabiskan malam untuk menanti afirmasi positif dari orang lain. Memilih tidur di tahun ini ternyata benar-benar pilihan tepat. Perayaan baru dimulai bahkan di sore hari, sudah bukan kesiangan lagi namanya. Lagi pula, apa yang akan diharapkan dari orang yang sangat tidak populer bahkan jika kelak mati pun yang dikabarkan melalui angin hanya kesunyian?
Ada banyak hal tentang perayaan ini yang berputar di kepalaku beberapa hari belakangan. Suara-suara tentang kenapa dan harus apa menyeruak pecah menjadi suara-suara. Sementara kamar ini masih sunyi. badan ini sunyi. Namun kepalaku begitu nyaring.
Bukankah kesepian kini terasa begitu akrab?
Mungkin semakin menjadi pula di tahun-tahun berikutnya. Sedikit waktu untuk membiasakan diri pada rasa sunyi dengan tulisan-tulisan putus asa dan diskursus fenomena sosial yang “ga penting-penting amat sih” untuk masyarakat pemuja STEM. Selebihnya menyambung hidup dengan bekerja, tentu saja.
Pada akhirnya, menyadari bahwa wujud ini tidak begitu penting bagi kepingan puzzle di hidup orang lain, sedikit memberi kelegaan. Saat benar-benar menghilang nantinya, orang-orang akan tetap sunyi seperti biasa. Menjalani hidup seperti biasa. Tidak perlu repot-repot copy-paste (apalagi memikirkan) ucapan belasungkawa sebagai formalitas dari duka cita. Tidak perlu memikirkan pernah begini dan begitu karena selama ini pun memang tiada. Begitulah hingga akhirnya tidak dikenal sebagai siapapun oleh siapapun.
Untuk merayakan 20 Agustus terakhir. Dari aku, untuk aku.
Leave a Reply