Sebagai insan akademis yang lebih doyan melihat lini masa ketimbang draf skripsi, tentulah kegaduhan tentang RUU Musik yang berseliweran di segala kanal tidak mungkin aku lewatkan. Partisipan yang berhelat dalam kegaduhan ini juga beragam, mulai dari yang misuh, suara dari kalangan musisi itu sendiri hingga tim kompor yang rindu dengan keributan yang berkualitas. Secara garis besar segala keributan ini bermuara pada beberapa hal: kebebasan berekspresi, industri, pasal karet dan bermacam absurditas yang menyertainya.
Beberapa hari setelah segala kisruh ini mengambang dengan berbagai opini yang nyaris lebih absurd dari pasal-pasal yang diprotes, barulah aku bisa menjumpai naskah asli RUU yang sangat ‘akademis’ itu. Bagaimana tidak, dalam RUU yang menentukan nasib banyak insan kreatif di negara ini, sumber rujukannya berasal dari makalah seorang siswa SMK yang ada di blogspot! Aku yang sedang menyusun naskah skripsi tentulah langsung ter-flashback dengan segala ceramah dan nasihat dosen pembimbing yang setia dengan kegundahan perskripsian ini.
Munculnya RUU Musik ini ternyata tidak hanya menjadi debat kusir antar netizen yang budiman. Namun nyaris semua musisi entah independen maupun major label keluar menunjukkan keberpihakan dengan rasionalitas masing-masing. Mulai dari petisi, tulisan, pembentukan koalisi, rilis pers hingga konferensi pers yang sempat jadi tertawaanku. Lucu sekali bagaimana seorang musisi besar mampu menunjukkan bahasa tubuh yang seakan mengatakan, “Lah ini mereka kok ngerti status quo? Kok bisa ngerti uji publik? Demsyit ini kenapa gue ga di-briefing dulu sih kalo musisi independen pinter-pinter?”.
Dengan begitu banyaknya bentuk ketidaksetujuan akan RUU Musik ini, aku dan skeptisisme terkutuk dalam kepalaku ini akan menelisik RUU Msuik yang absurd ini sembari berandai-andai: bagaimana jika kalau RUU Musik ini menjadi sah kedepannya? Seberapa kacaunya industri musik kita?
Menista, Melecehkan, Provokasi
Beserta segala macam kata lain yang ambiguitasnya tinggi yang sampai-sampai kepanjangan buat ditulis di sub-judul. Pasal ini ngaretnya melebihi mi instan yang sudah didiamkan selama 3 jam, biasanya buat bekal selepas renang. Pasal-pasal seperti ini biasanya baru akan disadari bermasalah kalau sudah kena kolega atau kerabat dari si pembuat undang-undang. Tidak usah melihat jejak digital sampai bertahun-tahun lalu, baru-baru ini kan sudah ada contohnya dari UU sebelah yang tidak kunjung direvisi itu. Ah, jadi tidak usah menghabiskan waktu untuk berandai-andai.
Mengandung Unsur Pornografi
Pencetus RUU ini mungkin saja baru tahu ada produk peradaban bangsa yang bernama Kungpow Chicken yang karya nakalnya sempat populer dibagikan remaja dengan infrared pada saat itu. Dear Bapak/Ibu Dewan yang terhormat, Kungpow Chicken udah bubaran dari 2011 tau! Padahal sedikit banyak remaja pada saat itu belajar sex education dari karya mereka. Masih ada manfaatnya ketimbang RUU Musik ini!
Entahpun band lain yang punya lirik-lirik nakal yang tidak bisa ditulis satu per satu disini. Padahal vulgaritas juga bagian dari seni. Tapi entahlah masyarakat kita yang semakin sangean, ehm, maksud saya semakin relijius ini menganggap vulgaritas sebagai musuh bersama dan auto-neraka. Untuk urusan selangkangan, RUU ini ngaretnya sudah menyerupai kondom.
Membawa Pengaruh Budaya Asing
Ini yang paling membuatku bingung. Dalam jagat permusikan negeri ini budaya asing sudah tidak terpisah lagi. RUU ini seperti ingin memisahkan sel darah merah dari seluruh sistem peredaran darah. Jika yang dimaksud budaya asing ini berupa genre, emangnya genre asli di Indonesia ini ada berapa sih? Udah banyak banget? Kalau budaya asing yang dimaksud adalah instrumen, celakalah kita. Hey Bung, Pak SBY yang mantan presiden itu saja dengan bangganya menyandang gitar asal Spanyol di cover albumnya. Saya khawatir yang merumuskan RUU Musik ini mungkin mengira gitar beradal dari Dayeuhkolot.
Aku tidak sanggup membayangkan kelak jika RUU Musik ini disahkan, akan ada sebuah band yang beraliran death metal namun dengan instrumen gendang, kecapi, sasando dan kolintang.
Pertunjukan Musik, Penyelenggara Berlisensi, Lembaga Sertifikasi
Kalaulah makanan dan kosmetik diberikan label ‘Halal’ oleh MUI, maka acara musik akan diberikan label ‘Halal’ oleh penyelenggara berlisensi, entah event organizer atau promotor. Dikira yang namanya lisensi apa tidak bayar? Dikira sertifikasi itu ngga makan waktu dan biaya? Benar-benar tidak rasional dan ujung-ujungnya hanya jadi ladang uang bagi piha-pihak tertentu. Ora mashhooookkkk!!!
Ya bayangkan saja mungkin ketika disahkan nantinya, mau akustikan di gunung saja nantinya yang bisa main hanya yang sudah sertifikasi tambah lagi harus lisensi. Mau bikin gigs kecil-kecilan harus berlisensi. Emangnya punya band itu segampang rekam terus tiba-tiba booming? Dikira yang bisa manggung cuma band yang namanya udah gede duluan di masyarakat?
Jumlah pensi, khususnya di luar Pulau Jawa juga akan menurun drastis. Tidak menampik bahwa masih ada pandangan ‘produk’ dari Pulau Jawa lebih ‘Wah!’ ketimbang ‘produk’ lokal. Maka untuk mengundang talent dari luar pulau juga akan menjadi kesulitan tersendiri untuk anak sekolahan (biasanya SMA) yang ingin menunjukkan eksistensi sekolahnya dengan cara menundang ‘talent berskala nasional’ pada pensi di akhir tahun ajaran. Di Medan sendiri, tanpa adanya syarat penyelenggara berlisensi ini saja para dede gemesh ini sudah luntang-lantung mencari sponsor dan tidak sedikit yang berujung pada refund tiket atau pembatalan sepihak. Apalagi hal tentang penyeleggara berlisensi ini disahkan nantinya. Mungkin dede gemesh akan memilih untuk bermain pianika secara masal di halaman sekolah.
Jangan juga lupakan acara dangdutan di setiap acara kawinan, juga harus lisensi terlebih mamang-mamang yang main keyboard koplo harus kembali ‘sekolah’ demi sertifikasi. Akan lebih sedih kalau ternyata ada mamang keyboard koplo yang gara-gara sertifikasi lebih nyaman main klasik. Jumlah mamang-mamang keyboard koplo akan berkurang dan menuju kepunahan!
Edukasi Masyarakat Akan Hasil Produk Musisi
Pertanyaan saya satu, yang nyusun RUU Musik ini pernah lihat musisi independen pas rilis lagu atau album baru gak sih? Setiap unggahan tentang lagu/album media sosial mereka pasti dibagian bawah akan ada banyak kanal musik. Mulai dari Youtube, Spotify, Deezer sampai yang aneh-aneh dan tidak akrab didengar, entahpun Friendster diikutkan jikalau bisa. Pokoknya rame seperti daftar sponsor pensi anak SMA. Dengan hal begini masyarakat masih perlu diajarin cara mengkonsumsi?
Dari sekian banyak kekacauan dan misuhku yang maha-absurd diatas, tidak terbayangkan bagaimana sulitnya seseorang jadi ‘musisi beneran’ di negeri ini jika RUU Musik ini disahkan. Mungkin setelah bersusah payah menjalani program sertifikasi musisi yang juga masih awarupa itu, dia akan bersusah payah menciptakan lagu berisi panduan untuk memasak mi instan, atau kisah cinta tanpa balas pisang goreng kepada tahu isi yang lebih memilih menikah dengan bakwan . Ayolah, masyarakat mana yang tidak suka mi instan dan gorengan? Kalau masyarakat yang tidak suka RUU instan sih banyak!
Tulisan ini pernah dimuat di degilzine.com pada 6 Februari 2019 dengan judul yang sama.
Leave a Reply