Pada akhirnya aku bisa menulis lagi. Setelah beberapa bulan hiatus karena mengejar studi yang “lulus enggan, DO tak mau” itu, akhirnya ada juga waktu lowong yang bisa digunakan untuk menceritakan beragam isi kepala. Meski waktu yang aku punya saat hiatus rasanya sangat sempit, namun beberapa ide-ide yang terkadang merembes dari kepala tetap dicatat di sebuah notes. Entah ide besarnya atau hanya judulnya. Kalau dihitung-hitung sudah 30-an “draft” yang akan digodok setelah lenggang ini, entah akan benar-benar tertulis atau hanya akan jadi tulisan yang terbuang nantinya. Beberapa tulisan yang sudah direncanakan terbit sebelum aku memutuskan hiatus pun ada yang terbuang begitu saja, khususnya tulisan-tulisan yang sifatnya momentum kini sudah jadi “asin”.
Berpacu pada Waktu
Meski menghadiri gigs atau konser merupakan hal yang benar-benar menyenangkan, menuliskannya bisa jadi hal yang berbeda. Setelah pulang dari acara yang dihadiri, euphoria yang masih menyisa tentu saja akan berbanding terbalik dengan kondisi badan yang kadung diremuk jalan (belum dihitung kalau-kalau ada “perjamuan”). Sementara di hari esoknya tentu aku saja harus bekerja seperti biasa. Sebagai orang yang cukup moody-an, terkadang untuk memulai suatu tulisan rasanya bisa jadi sulit sekali. Beberapa hal ini yang bisa jadi masalah buatku untuk membuat tulisan-tulisan yang perlu berpacu dengan waktu.
Syukurlah beberapa acara yang aku sendiri belum ada yang menawariku seabgai media partner. Rasanya tidak enak saja kalau-kalau setelah diajak menjadi media partner tidak menulis acara itu, the worst: cuma nangkring di instagram story. Hal ini yang sebetulnya membuatku ogah untuk memakai embel-embel media. Jadi lebih independen sebagai diri sendiri rasa-rasanya masih lebih nyaman walaupun tanggung jawab untuk menulis lebih tepat waktu juga harus dibiasakan.
Dibuang Sayang
Kalau diingat-ingat, ada beberapa acara yang sempat nangkring di draft dan urung usai. Masing-masing punya kesan tersendiri sampai mau ditulis. Tapi ya begitulah nasib tulisan yang dibiarkan lebih dari seminggu, sudah pasti kehilangan momentumnya. Sebagai bentuk penyesalan dan karena memang sub judulnya “Dibuang Sayang”, mungkin akan ditulis saja acara-acara singkat tadi sembari mereka ulang ingatan dan sisa-sisa euphoria waktu itu. Sebenarnya ada beberapa hal yang berkaitan dengan acara yang akan aku tulis. Namun karena momentum yang hilang itulah rasa-rasanya kurang elok saja jika kritik-kritik tersebut baru dituliskan sekarang. Mungkin beberapa hal yang penting untuk disorot akan ditulis di tulisan terpisah.
Prologue Act I: Manor Studio
Kalau ini tentu saja disengajakan untuk melihat dua nama yang aku rasa punya potensi untuk besar di ranah skena musik Medan; Shanghai Karate Club & Xcorpio. Shanghai Karate Club yang baru mengeluarkan singlenya dan album Xcorpio yang albumnya menggugah (dan urung aku tulis ulasannya) membuatku menyengajakan diri untuk datang di acara ini. Meskipun merasa jengah dengan beberapa kesalahan teknis yang terjadi di acara, namun berhasil melihat dua nama ini di panggung untuk pertama kalinya jadi punya kesan tersendiri untuk acara ini.
Rebel Forever (Kedai Boogie)
Kalau untuk yang satu ini, tentu saja selain sebagai acara “penutup” sebelum bulan puasa ada beberapa nama yang ingin aku tonton. Mulai dari Moongazing and Her, Nartok hingga Liberty Gong. Sayangnya, Nartok gagal main karena kesalahan teknis. Acara yang cukup asyik sebenarnya meskipun ada beberapa “oknum” norak yang membawa petasan dan melemparkannya ke talent yang ada di panggung.
NB: Aku baru sadar kalau foto-foto di acara ini hilang dan sialnya aku lupa backup memori HP.
PP No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik
Tidak hanya acara-acara kolektif yang kehilangan momentum untuk ditulis. Namun juga hal-hal mengenai musik yang juga ramai dibicarakan. Salah satunya adalah Peraturan Presiden yang sempat ramai dibicarakan di linimasa dan tidak sedikit para artis yang speak up tentang hal ini. Apalagi kalau bukan soal melawan stigma dari netizen yang punya stigma berlebihan; dan para penggiat musik mati-matian mengedukasi masyarakat secara dadakan. Meski pada saat itu aku punya waktu senggang untuk melakukan riset, namun ternyata waktu kembali berbicara bahwa untuk menuliskannya itu lain persoalan.
Dan kembali lagi ke persoalan momentum yang terlewat tadi, aku jadi berpikir ulang untuk menuliskan hasil riset kecil-kecilan itu untuk dinaikkan. Entahlah kalau ada yang minta. Lagi pula sudah ada dua tulisan yang aku rasa cukup keren untuk menggambarkannya; dari Anto Arief dan Pry S. yang meski punya pandangan yang kontradiktif rasa-rasanya diskusi yang sehat ini tetap seru dibaca.
Kembali ke Awal
Di antara banyaknya ide-ide yang merembes itu, seringkali ada ide-ide cukup gila yang di kemudian hari sering membuat kerepotan sendiri. Salah satunya adalah ide untuk menjadikan akun instagramku sebagai akun untuk update tulisan-tulisan dari blog yang sudah diterbitkan. Tapi hal ini pula yang membuatku berpikir kembali: “apa sebenarnya tujuanku untuk menulis lagi?”. Hal ini pula yang rasanya sering terlupa di saat beberapa pujian datang. Afirmasi positif yang datang seringkali melenakan sehingga terkadang upayaku untuk menulis sering berganti menjadi pencarian afirmasi ketimbang kembali ke tempat yang tenang dan sepi. Tidak menampik kalau ada banyak orang yang membaca tulisan-tulisanku rasanya memang menyenangkan, namun kadang cara-cara yang dipaksakan seperti itu (dalam kasus ini aku yang ingin berlakon seperti akun yang “so-called as media”) jadi hal yang cukup menggelikan. Keinginan (lebih tepatnya candu) akan afirmasi positif ini yang terkadang menjadikanku tidak lagi lepas dalam menulis karena memikirkan bagaimana orang lain akan membaca tulisanku. Pada akhirnya, latihan agar konsisten menulis dengan baik jadi tujuan utama saat ini. Hasilnya kemudian yang mungkin akan jadi bonus.
Leave a Reply